AutonetMagz.com – PT Kreta Indo Artha (KIA) selaku agen tunggal pemegang merk Kia di Indonesia, mengadakan sesi media first driveall new Kia Carens pada Rabu (12/10) lalu di kawasan BSD, Tangerang. Setelah sebelumnya kami telah melakukan review berkendara terhadap varian tertinggi Carens yaitu 1.4L Turbo, kali ini dalam sesi media first drive kami berkesempatan merasakan Carens 1.5L.
Eksterior Dan Interior Hampir Sama Dengan Varian Tertingginya
Kia Indonesia sebelumnya telah menghadirkan all new Carens dalam dua varian mesin, Carens 1.5L dan 1.4L Turbo yang diluncurkan dalam gelaran GIIAS 2022 pada Agustus lalu. Setelah kami melakukan first impression serta video review terhadap Kia Carens 1.4L Turbo sebagai varian tertinggi, dalam kesempatan ini kali ini kami dapat merasakan langsung Carens 1.5L yang secara desain eksterior terlihat sama saja.
Mulai dari fascia depan, bodi samping, hingga ke bagian buritan, Carens 1.5L memiliki visual serta spesifikasi yang sama persis dengan Kia Carens 1.4L Turbo. Tak ada pengurangan sedikitpun dari fitur yang ada pada Carens 1.4L Turbo seperti perlampuan full LED, velg 16-inci, detail aksen krum, hingga dimensi (4.540×1.800×1.700 mm) serta wheelbase (2.780 mm) yang tidak berubah pada Carens 1.5L.
Masuk ke interior, perbedaan pada Carens 1.5L terasa dengan hadirnya tombol idling start stop dan kursi baris kedua yang menyambung. Namun hanya itu perbedaannya, sisa material serta fitur seperti steering switch, ambient lighting, panel meter full digital dengan layar 4,2-inch TFT, ventilated front seats, head unit 8-inch dengan Apple CarPlay dan Android Auto, sunroof, hingga tabel tray pada kursi baris kedua masih sama persis dengan Kia Carens 1.4L Turbo.
Dapur Pacu Yang Berbeda Pada Kia Carens 1.5L
Barulah perbedaan paling signifikan hadir pada bagian dapur pacunya, Carens 1.5L menggunakan mesin Smartstream 1.497 cc dengan keluaran tenaga 115 PS di 6.300 rpm dan torsi 144 Nm di 4.500 rpm. Tenaga tersebut disalurkan ke dua roda depan dengan transmisi IVT yang saat kami coba cukup responsif saat membuka gas ketika berkendara agresif. Pengereman juga terasa pakem dengan full disc brake walau jarak tuas pengereman terasa pendek hingga cukup mengagetkan.
Sayang soal electric power steering yang disematkan pada seluruh varian all new Carens, memiliki tingkat akurasi yang kurang baik serta steering feedback yang terasa sangat artifisial. Pun jarak main suspensi terasa pendek hingga bantingan terasa cepat dan keras, walaupun hal tersebut berefek pada kontrol bodi yang masih baik jika perbandingannya segmen MPV untuk pasar Indonesia.
Kesimpulannya dengan beda harga hingga Rp 60 Juta (1.5L Rp 389 Juta, 1.4L Turbo Rp 449 Juta), all new Carens 1.5L masih menjadi pilihan yang worth it untuk dibeli mengingat fitur yang disediakan pun tidak beda jauh dengan varian tertinggi. Jadi dengan perbedaan performa mesin, kelebihan, serta kekurangannya, apakah kalian tertarik dengan all new Kia Carens 1.5L?
AutonetMagz.com – Setelah resmi diperkenalkan ke muka publik Indonesia pada akhir Juli 2022 lalu, akhirnya kami berkesempatan mencoba new Mazda CX-8. Memiliki status major facelift dengan ubahan pada bagian eksterior, interior, hingga fitur yang telah kami bahas dalam artikel sebelumnya, apakah SUV Mazda yang dapat memuat 6 penumpang ini masih seru untuk dikendarai?
Mazda Dari Sisi Pengendara
Pertama kali duduk di kursi pengemudi, CX-8 terbaru memberikan rasa dari kabin yang ‘human-centric‘ berkat visibilitas yang baik, fokus dalam berkendara tidak akan terganggu karena layar-layar besar di dasbor. Untuk posisi berkendara juga dapat disesuaikan dengan beragam postur badan berkat artikulasi jok elektrik yang fleksibel, dilengkapi lumbar support, 2 slot memory seat, dan stir tilt & telescopic.
Ketika membuka gas, mesin 4-silinder 2.5L Skyactiv G dengan transmisi otomatis (torque converter) 6-percepatan terasa responsif. Sehingga mesin dengan tenaga 187 hp dengan torsi 252 Nm yang dihantarkan ke roda depan bisa diajak cruising dengan nyaman maupun berkendara agresif. Pedal rem juga terasa empuk dengan jarak main yang bisa ditakar tingkat pengeremannya. FYI, walaupun mesinnya memiliki kompresi tinggi (13:1), CX-8 mampu meminum Pertalite loh.
Merasakan bantingan suspensinya, SUV Mazda ini memiliki karakter yang empuk namun padat sehingga melewati jalanan rusak maupun menikung dalam kecepatan 60 km/h dieksekusi dengan baik. Namun tentu body roll khas SUV monokok tetap ada pada CX-8 yang bongsor. Stroke (jarak main) suspensi yang terasa pendek juga membuat new Mazda CX-8 memantul dengan cepat saat menghajar speed bump.
Kenyamanan CX-8 Yang Disempurnakan
Soal fitur keselamatan berkendara, Mazda CX-8 sudah dilengkapi dengan i-ACTIVESENSE yang cukup lengkap. Mulai dari Mazda Radar Cruise Control (MRCC), Lane Keeping Assist (LKA), Smart City Brake Support (SCBS), Blind Spot Monitoring (BSM), hingga kamera 360 tersedia untuk memberikan rasa aman serta nyaman dalam berkendara namun tidak ‘galak’ dalam meng-intervensi gaya berkendara.
Berpindah ke kursi baris kedua, kesan lega dan mewah ala VIP langsung terpancar berkat konfigurasi full electric captain seat empuk yang tidak ditawarkan Mazda model apapun saat ini. Hadirnya fitur pengaturan AC triple zone, heated & ventilated seat, serta berbagai macam kompartemen penyimpanan semakin menegaskan bahwa new Mazda CX-8 bisa memanjakan penumpangnya dengan apik.
Peredaman kabin juga terasa refine, suara-suara sumbang dari luar kabin tereduksi dengan baik bahkan suara ban sekalipun. Soal kualitas suara speaker BOSE Premium Surround (10 titik) Sound? Jempolan. Dari sisi akustik yang jelas, bass yang nendang, dan suara yang jernih semakin memanjakan indra pendengar dari segala sisi kabin.
Menyuguhkan Atmosfer Berbeda, Namun…
Sayangnya walaupun menawarkan karakter berkendara khas ‘Jinba Ittai’ dan kenyamanan yang berbeda dari lini model Mazda lainnya, CX-8 2022 tetap memiliki beberapa kekurangan. Ketika menikung dengan agresif, buntut Mazda CX-8 masih terasa ‘ngebuang’. Mungkin ini dikarenakan CX-8 masih menggunakan platform yang sama dengan Mazda CX-5, namun dimensinya diperpanjang hingga 32,5 cm.
Adapun kekurangan lainnya terdapat di kursi baris kedua yang pengaturannya sudah fully electric. Memang terkesan premium, namun pergerakan yang lambat membuat akses keluar masuk penumpang baris ketiga jadi terhambat. Terlebih sunroof yang ada pada new Mazda CX-8 2022 bukan panoramic sehingga kesan luasnya tidak terasa tegas.
Secara garis besar, new Mazda CX-8 facelift 2022 cocok untuk kalian yang ingin memiliki mobil yang asik untuk dikendarai maupun ditumpangi. Eksistensinya pun sudah mematahkan stigma mobil Mazda tidak bersahabat dengan penumpang. Jadi dengan harga Rp 795,5 Juta On The Road, apakah CX-8 masuk ke dalam kriteria SUV impianmu?
Surabaya, AutonetMagz.com – Siapa yang tak kenal dengan Wuling Air EV? Bahkan, mungkin sejumlah orang awam otomotif kini mulai aware dengan keberadaan mobil listrik ini karena bentuknya yang unik dan mungil. Dan kali ini, tim AutonetMagz kembali mendapatkan kesempatan untuk mencoba langsung Wuling Air EV, namun di Surabaya. Wuling Arista Jawa Timur mengundang kami untuk mencoba langsung mobil listrik rakitan lokal tersebut.
Bertempat di Option Bistro Citraland, Wuling Arista Jatim menggelar media test drive Wuling Air EV pada hari Jumat, 28 Oktober 2022 kemarin. Dalam kesempatan ini, turut hadir pula Operational Manager PT Arista Jaya Lestari, Yansen Tan. Beliau menjabarkan bahwa antusiasme publik Indonesia, khususnya Jawa Timur cukup tinggi pada mobil listrik mungil ini. Bahkan, unit Wuling Air EV mereka hampir tidak beristirahat karena banyaknya publik yang ingin mencoba mobil tersebut. Oiya, FYI, PT Arista Jaya Lestari sendiri merupakan group dealer Wuling dengan penjualan terbesar lho. Mencapai 53% dari total penjualan Nasional Wuling.
Oke, kali ini kami juga turut mencoba langsung mobil ini dan langsung berada di balik kemudinya. Pertama kali yang kami rasakan, posisi duduk mobil ini cukup tinggi. Dashboard-nya nampak cukup rendah dan bak sebuah meja. Posisi ini bisa menjadi keunggulan, tapi juga kekurangan. Keunggulan yang kami rasakan adalah visibilitas yang terlihat jelas, dan biasanya posisi ini akan sangat disukai oleh kaum hawa. Hanya saja, akan jadi kekurangan jikalau kalian suka posisi berkendara in car yang lebih rendah. Jadi, kembali ke preferensi. Saat berjalan, karakter motor listrik di mobil ini terbilang comfort. Walaupun kita menginjak pedal gas agak dalam, responnya akan tetap soft.
Padahal, selama berkendara kami kebanyakan menggunakan mode berkendara Sport. Kondisi ini bisa jadi nilai tambah tersendiri karena akan lebih safety bagi mereka yang baru pertama kali mencoba mobil listrik. Jadi, tak perlu khawatir akan ‘kaget’ dengan pedal gasnya. Pedal rem cenderung digital namun tak susah untuk dibiasakan. Visibilitas mobil ini juga bagus, kecuali kaca spion tengah yang nampak agak terlalu kecil. Namun untuk pandangan ke belakang akan terbantu oleh kamera mundur yang garisnya dinamis. Setir termasuk enteng, sehingga memudahkan manuver di dalam kota. Apalagi mobil ini juga mungil.
Untuk fitur, kami cukup menikmati panel instrumen berbentuk layar yang seolah menyambung pada sistem infotainmentnya. Bentuknya modern dan enak dipandang, walaupun respon layar sentuh di head unit-nya bisa ditingkatkan lagi. Oiya, Wuling Air EV juga sudah dibekali WIND lho, tapi pastikan kalian berbicara dengan jelas ke posisi tengah dashboard supaya sistem bisa mengenali perintah suara kalian. AC di mobil ini mengingatkan kami pada AC di Toyota C+POD EV, terbilang kencang untuk sebuah mobil kecil. Kursinya cukup nyaman, walaupun sayangnya tak bisa diubah ketinggianya. Setidaknya, setirnya bisa tilt.
Karena kami menggunakan versi long range, maka mobil ini tak perlu ‘dinyalakan’. Cukup kantongi kunci, masuk ke mobil, dan injak rem saja maka mobil akan otomatis menyala. Tuas transmisi bermode dial juga cukup keren dengan feel tag tile yang bagus. Rem parkirnya elektronik dan ada auto hold. Bantingan suspensinya juga moderat, cenderung ke empuk. Namun, jangan berharap mobil ini punya handling yang tajam dan minim body roll. Kalau kalian berharap itu, pasti kalian salah pilih mobil. Overall, dengan harga dan range yang ditawarkan, Wuling Air EV berhasil menjadi opsi menggiurkan bagi konsumen di kota – kota besar.
Mobil ini bisa mengirit pengeluaran kalian untuk BBM, ikut memberikan dampak ramah lingkungan, plus menjadikan kalian pusat perhatian di jalan. Kami tak sabar ingin mencoba mobil ini lebih lama sebagai mobil harian di Surabaya. Bagaimana menurut kalian, kawan?
AutonetMagz.com – Pada hari ini, tim Autonetmagz berkesempatan untuk berkendara secara singkat dengan Toyota Kijang Innova Zenix di Toyota Driving Experience, Sunter. Tidak hanya varian Hybrid, kami juga mencoba varian bensin. Karena area yang terbatas, mungkin kurang bisa mendapatkan gambaran seutuhnya dari impresi berkendaranya. Tapi, setidaknya bisa memberikan gambaran dari impresi berkendaranya secara riil.
Di lokasi yang memiliki luas hampir sekitar 10.000 m2 dengan trek-trek khusus seperti Speed Bump, Flooding Tub, Slope Hill, Smooth Asphalt, Acceleration and Braking, Pot Hole, U-turn dan zig-zag. Sedikit catatan, untuk trek pot hole dengan bebatuan sengaja kami skip untuk varian hybrid. Karena bagian body-kit yang agak menjuntai kebawah kami khawatir akan merusak bagian bawah dari bumper tersebut. Yang kami uji ini adalah tipe Q hybrid alias yang paling mahal dan tipe v gasoline.
Impressi Versi Hybrid
Dimulai dari versi hybrid terlebih dahulu. Begitu mesin dinyalakan, tidak ada suara dan getaran yang menyertainya. Hanya ada pergerakan jarum di panel instrumen yang menandakan bahwa mesin sudah menyala. Begitu dijalankan dengan kecepatan rendah, ada suara-suara untuk menandakan bahwa “mobil ini lagi jalan.” Kemudian kami arahkan ke trek speed bump, suspensi dan kursinya kami rasa cukup untuk meredam guncangan.
Begitu kami ajak berakselerasi, rasanya mesin hybrid ini lebih effortless untuk membawa lari bodi mobil. Saat kita ajak untuk menikung dengan trek zig-zag, masih ada sedikit gejala body-roll. Masih ada gejala limbung, tapi setidaknya didalam badan kami tidak ikut goyang-goyang. Pengeremannya juga cukup baik, tidak kabur-kaburan berkat penambahan rem cakram di belakang. Sedikit catatan, camera 360 pada tipe q hanya bisa digunakan bila masuk ke gigi mundur (atau kami yang kurang paham settingnya? mohon koreksi dibawah). Begitu masuk ke gigi mundur suara audio juga otomatis mengecil, ini penting agar bisa mendengar aba-aba dari tukang parkir lebih jelas.
Impressi Versi Bensin
Bagaimana dengan yang versi bensin? untuk diajak berakselerasi memang agak effort dibanding yang hybrid. Meskipun tidak sepelan versi mesin 1TR di generasi sebelumnya. Bantingannya juga lebih empuk berkat penggunaan pelek 17 inci dan ban dengan profil yang lebih tebal. Namun gejala limbungnya lebih berasa dibandingkan dengan yang hybrid tadi. Setirnya juga terasa lebih berat dibandingkan dengan yang versi hybrid, padahal sama-sama menggunakan EPS dan pelek yang lebih kecil.
Kesimpulannya, bagi kami Kijang Innova generasi terbaru alias Zenix ini sudah cukup memperbaiki kekurangan-kekurangan yang ada pada generasi reborn. Sayangnya ada beberapa fitur yang ada pada generasi reborn tidak tersemat pada generasi Zenix ini. Seperti foglamp depan untuk semua tipe dan lampu projector serta jok elektrik di kursi pengemudi (untuk setidaknya tipe tertinggi). Kedepannya mungkin bisa ditambahkan beberapa fitur pelengkap lagi walau mungkin baru tersedia di tipe teratas seperti foglamp belakang, TPMS, Kick sensor bagasi, dan lampu balakang full LED.
AutonetMagz.com – Hadirnya Honda WR-V di pasar Indonesia menambah panjang peserta di segmen small SUV, sebuah segmen baru yang sudah cukup sesak pemainnya. Saat ini, segmen small SUV telah diisi oleh KIA Sonet, Nissan Magnite, Renault Kiger, Toyota Raize, Daihatsu Rocky, dan tentunya Honda WR-V. Lantas, apa yang jadi nilai tambah Honda WR-V untuk bisa bersaing di segmen ini? Kali ini tim AutonetMagz mendapatkan kesempatan spesial untuk mencoba langsung Honda WR-V di Pulau Dewata Bali. Dan kita akan gali apa saja poin plus dari SUV ini sehingga layak kalian pertimbangkan. Cekidot.
Jadi, tim Honda Prospect Motor (HPM) bersama dengan main dealer mereka di Jatim Bali Nusra yaitu Honda Surabaya Center (HSC) menggelar media test drive untuk Honda WR-V di Bali. Sebenarnya, kegiatan ini telah dilaksanakan pada pertengahan bulan Desember 2022 kemarin, dan kali ini kami akan bahas lengkap bagaimana sensasi berkendara menggunakan mobil ini. Selain itu, kami juga akan menjabarkan apa saja perbedaan utama dari Honda WR-V kalau dibandingkan dengan sang kakak yaitu Honda BR-V. Wajar saja, karena Honda WR-V dan Honda BR-V menggunakan basis yang sama, namun beda dimensi dan kapasitas angkut.
Oke, kita mulai dahulu dengan desain dan juga fitur yang ditawarkan Honda WR-V. Kita bahas singkat saja, karena perbedaan dengan Honda BR-V tidak terlalu mencolok secara fitur. Untuk desain, Honda WR-V menggunakan wajah depan yang sepenuhnya berbeda dengan Honda BR-V. Malahan, Honda WR-V nampak mencomot lampu utama dari Honda Amaze yang dijual di India. Lampunya sudah LED, pun begitu dengan foglamp-nya yang sudah LED dan Proyektor. Grille depannya dilabur krom untuk tipe RS, dan polosan berwarna hitam untuk tipe E. Untuk kaki-kaki, Honda WR-V menggunakan velg dan ban yang ukurannya sama dengan Honda BR-V.
Ban Bridgestone Turanza T005a dengan profil 215/55 R 17 untuk tipe RS dan 215/60 R16 untuk tipe E. Pembeda utama dengan Honda BR-V terlihat di sisi samping karena mobil ini jauh lebih pendek, dan wheelbase-nya pun ikut menciut. Oiya, Honda WR-V juga menggunakan handle pintu baris kedua model hidden yang diposisikan dekat pilar C. Sentuhan ala Honda HR-V. Di bagian belakang, Honda WR-V tidak mewarisi taillamp milik sang kakak. Malahan, Honda WR-V menggunakan lampu belakang baru yang terinspirasi dari Honda Civic RS terbaru. Lampu belakangnya sudah LED, dan terasa proporsional secara bentuk dan ukuran. Sayangnya, tak ada rear defogger di kaca belakangnya. Padahal, rear wiper dan rear spoiler sudah diberikan.
Masih dari sisi belakang, salah satu catatan yang kami temukan adalah tingginya bibir bagasi mobil ini. Perlu effort yang lebih untuk memasukkan barang ke bagasinya. Tapi, di sisi lain, bagasi mobil ini terbilang luas. 3 buah tas dan koper, 1 kotak berisi makanan dan minuman, plus 1 tas golf masih muat di bagasi mobil ini. Masuk ke interior, kalian akan merasakan nuansa yang sama plek dengan Honda BR-V. Yang terlihat beda adalah penggunaan ornamen berwarna merah di dashboard. Kursi pun sedikit dibedakan dengan penggunaan material campuran antara fabric dan kulit sintetis. Sedangkan ornamen doortrim yang berwarna silver di Honda BR-V sudah diganti warna hitam.
Setir juga sudah berbalut kulit dan ada stiching yang terlihat kontras. Panel instrumen, AC, dan head unit pun sama plek dengan sang kakak. Satu poin yang ingin kami cermati adalah penggunaan atap berwarna hitam yang memberikan kesan sporty sekaligus mewah di saat yang bersamaan. Pindah ke bangku baris belakang, kami agak terkejut dengan kelegaan kabinnya. Walaupun Honda WR-V merupakan salah satu small SUV dengan dimensi termungil, namun nyatanya ruang belakangnya tergolong lebih dari cukup. Ruang kaki melimpah, dan ruang kepala pun masih memadai. Bangku tak terlalu tegak, dan ada power outlet untuk penumpang belakang. Sayangnya, tak ada kisi AC ataupun armrest. Seatbelt reminder pun absen di bangku baris belakangnya.
Nah itulah impresi pertama kami saat berinteraksi langsung dengan Honda WR-V selama Media Test Drive di Bali. Lantas, bagaimana dengan driving-nya? Kita akan bahas di artikel berikutnya. Bagaimana menurut kalian, kawan?
AutonetMagz.com – Beberapa waktu lalu, Tim AutonetMagz mendapatkan kesempatan untuk mencoba langsung SUV kompak terbaru Honda Indonesia yaitu Honda WR-V. Dalam kesempatan tersebut, kami mengendarai Honda WR-V di jalanan Pulau Bali pada masa – masa high season. Yap, jalanan tentunya cukup padat dan kami pun melalui rute yang cukup menantang yaitu dari kawasan Ubud menuju ke Bali Utara, Kintamani, dan berakhir di Seminyak. Lantas, seperti apa rasa berkendara menggunakan Honda WR-V? Pastikan kalian baca artikel ini hingga akhir. Cekidot.
Oke, pertama kali naik di unit Honda WR-V yang kami gunakan, kami langsung mencoba duduk di bangkur baris kedua mobil ini. Dan di bagian ini, kami menemukan beberapa poin positif, dan juga beberapa hal yang perlu di-improve oleh Honda. Poin positif pertama adalah ruang baris keduanya yang terbilang luas dan lega untuk mobil dengan dimensi yang kecil. Malahan, ruang ini jauh lebih lega ketimbang KIA Sonet yang beberapa waktu lalu juga sempat kami gunakan di Surabaya. Ruang kaki melimpah, thanks to lubang di bawah kursi dan kontur belakang kursi depan yang dibuat sedemikian rupa. Ruang kepalanya juga masih lega untuk saya yang tingginya 169cm.
Kursi belakangnya juga tidak terlalu tegak, dan sudah ada 3 headrest yang proper untuk 3 penumpang. Sayangnya, penumpang tengah hanya dapat seatbelt 2 titik saja, dan tidak ada seatbeltreminder untuk bangku baris kedua. Selain itu, sayangnya Honda tidak membekali baris kedua mobil ini dengan armrest ataupun kisi AC belakang. Power outlet masih ada, namun harus menggunakan adaptor tambahan. At least kantong doortrim-nya cukup besar dan ada seat back pocket di kedua bangku depannya. Di bagian belakang ini kami juga merasakan bahwa bantingan Honda WR-V terbilang kaku, tidak seperti sang kakak Honda BR-V yang cenderung empuk. Bisa dikatakan, bantingan Honda WR-V ada di tengah-tengah antara Honda Brio dan Honda BR-V.
Pindah ke posisi pengemudi, kami langsung merasakan bahwa posisi duduk mobil ini sama plek dengan sang kakak, Honda BR-V. Posisi berkendaranya commanding khas SUV, walaupun kami sudah menurunkan kursi ke posisi terendah. Di posisi tersebut, ujung kap mesin masih terlihat jelas oleh kami. Untuk peforma mesin, kami tidak meragukan tenaga 121 PS pada 6.600 rpm dan torsi 145 Nm di 4.300 rpm. Tenaga puncaknya ada di redline, namun torsi puncaknya sudah bisa kita rasakan di 4.000-an rpm. Dibandingkan Honda BR-V, jelas power delivery di Honda WR-V lebih menyenangkan berkat body yang lebih kecil dan pastinya lebih ringan namun mengusung mesin yang sama. Ini membuktikan bahwa mobil kecil tanpa turbo tetaplah asyik.
Mungkin berkendara dengan Honda WR-V akan lebih menyenangkan jikalau ada paddle shift di setir mobil ini. Untuk kekedapan suaranya, kami belum menguji secara langsung menggunakan db meter. Hanya saja, kami merasakan bahwa improvement dibandingkan sang kakak masih tidak terlalu terasa. Suara kendaraan masih sayup – sayup terdengar, dan suara kolong cukup masuk ke kabin. Sedangkan suara mesin akan masuk saat mencapai putaran mesin 3.000 rpm dan makin kencang di atas 4.000 rpm. Satu hal yang menyenangkan dari mobil ini adalah handling-nya. Berhubung dimensinya kecil dan mesinnya cukup powerful, maka berkendara dengan Honda WR-V terbilang mengasyikkan.
Kasarnya, mobil ini sat set saat kami harus melewati jalanan di kawasan Ubud dan Kintamani yang tidak lebar. Saat dibawa ke kemacetan di Denpasar dan Seminyak pun mobil ini bisa diandalkan. Kami pun tak jarang mengambil jalan tikus yang hanya muat mobil berukuran kecil guna mengakali kemacetan Bali di akhir tahun. Oiya, ada satu hal menarik, dimana tim LPL Honda menyatakan bahwa mereka memberikan mapping berbeda untuk transmisi Honda WR-V. Saat kita hard braking, transmisi akan menaikkan putaran mesin sebanyak 500 rpm untuk memberikan kesan downshifting. Unik, tapi cocok untuk kalian yang ingin mendapatkan kesan downshift di transmisi CVT Honda.
Konsumsi BBM Honda WR-V juga tergolong oke, dimana mobil dikendarai 3 driver beda karakter dan tidak ada diantara kami yang eco driving selama perjalanan. Hasilnya? Kami menorehkan angka 12,8 km/liter dengan rata – rata kecepatan di angka 21 km/jam. Kami yakin angkanya bisa lebih lagi jikalau kami menggunakannya di perkotaan dengan gaya berkendara eco driving. Jadi, kesimpulannya, Honda WR-V memang ditujukan untuk konsumen yang spesifik dan berbeda dengan Honda BR-V. Mobil ini untuk kalian yang ingin SUV kecil dengan gaya berkendara sporty dan punya mobilitas tinggi. Bukan untuk para pecinta bantingan empuk.
AutonetMagz.com – Sudah satu setengah bulan lamanya sejak Toyota Kijang Innova Zenix mengucapkan salam perjumpaan ke pasar Indonesia. Sebagai anggota baru dari famili Kijang, Toyota memberikan revolusi besar di mobil keluarga Indonesia ini. Kami bukan bicara soal perubahan dari ladder frame ke monokok atau dari RWD ke FWD, namun karena ini adalah pertama kalinya Toyota Kijang memakai mesin hybrid, apalagi ini adalah hybrid pertama Toyota yang dirakit di Indonesia.
Toyota Kijang Innova Zenix memakai mesin hybridgenerasi terbaru Toyota, dan memiliki berbagai mode berkendara termasuk EV mode. Mode itu jadi istimewa, karena berarti Toyota menyediakan pilihan agar Kijang Innova Zenix bisa berjalan menggunakan tenaga listrik saja. Karena sudah disediakan mode tersebut, kami pun memutuskan untuk mencobanya di acara Journalist Test Drive yang diadakan Toyota dengan rute Jogja-Semarang-Jakarta.
Syarat Agar Bisa Pakai EV Mode di Kijang Zenix
Sekilas info terlebih dulu, baterai Toyota Kijang Innova Zenix berjenis Ni-MH alias Nickel-Metal Hydride dengan kapasitas sekitar 1,3 kWh, terbagi menjadi 28 modul dan punya 168 sel baterai. Tegangan baterainya 201,6 Volt dan bobot baterainya mencapai 39,4 kg. Toyota Indonesia mengklaim mereka memilih baterai Ni-MH di Kijang Innova Zenix karena dinilai lebih cocok untuk iklim tropis Indonesia, terutama soal kelembaban.
Untuk memakai EV mode, State of Charge atau SoC baterai harus di atas 50 persen. Baterai Kijang Innova Zenix tidak akan terisi lebih dari 80 persen atau habis kurang dari 40 persen. Secara default, Toyota Kijang Innova Zenix akan mulai di EV mode ketika baru pertama kali dinyalakan. Kami mengujinya di tol Cikampek arah Jakarta setelah selesai beristirahat di rest area. Pengujian dimulai di sekitar KM 50-an.
Setelah Diuji, Hasilnya…
Kami menekan pedal gas dengan ekstra hati-hati agar tidak membangunkan mesin 2.000 cc-nya. Sesekali melihat ke spidometer untuk mencari tahu, berapa kecepatan maksimal yang bisa dipakai dengan tenaga listrik saja. Spidometer sempat meraih angka 50 km/jam lebih sedikit, namun pedal gas kembali dilepas karena tak ingin mesin bensin menyala. Oh ya, AC dan musik tetap dinyalakan untuk alasan kenyamanan 3 penumpang lain yang semobil dengan kami.
Saat pedal gas dilepas, kami selalu berharap efek regenerative braking yang dihasilkan bisa sedikit membantu pengujian kecil-kecilan kami ini. Saat mendekati KM 49, mesin bensin ternyata langsung menyala. Entah karena kami menginjak gas terlalu dalam atau memang baterainya sudah minta di-charge lagi oleh mesin. Secara total, kami mendapatkan EV mode dari Toyota Kijang Innova Zenix bisa menjalankan mobil ini dengan tenaga listrik murni sejauh 1 kilometer saja.
Intisari Teknologi Hybrid Toyota Kijang Innova Zenix
Kenapa kami melakukan tes ini? Karena Toyota sendiri enggan bilang berapa jarak yang bisa ditempuh Kijang Zenix dengan EV mode alias tenaga listrik murni, jadi kami coba saja sendiri. Meskipun hanya dapat 1 kilometer, kami tak kaget dan sudah menduga hasil ini. Tentu saja, baterai berkapasitas kecil dan bukan berjenis lithium tidak akan membuat kami berekspektasi tinggi soal kepadatan energi alias energy density-nya. Lagipula, ini bukan mobil plug-in hybrid seperti Toyota Prius Prime, jadi ya wajar.
Sistem hybrid Toyota Kijang Zenix ini diciptakan agar pemiliknya jarang mampir ke pom bensin, salah satu caranya adalah memprioritaskan tenaga listrik saat macet. Kondisi macet adalah momen di mana penggunaan bensin sangat boros di mobil biasa, namun di mobil hybrid, energi bensin diubah jadi energi listrik yang bisa menggerakkan mobil dengan sangat efisien di kecepatan rendah. Karena mesin M20A-FXS milik Kijang Zenix memakai siklus Atkinson, pembakarannya sendiri lebih efisien ketimbang mesin M20A-FKS yang memakai siklus Otto seperti mesin lain.
Maka dari itu, tidak heran jika konsumsi BBM Toyota Kijang Innova Zenix bisa membuat LCGC yang terkenal irit bisa ketar-ketir. Kesimpulannya, meski Kijang Zenix bisa jalan pakai tenaga listrik saja, mobil ini bukan untuk digunakan sebagai mobil listrik. Pandanglah Toyota Kijang Innova Zenix sebagai duta hybrid sejuta umat agar semakin banyak orang berkesempatan merasakan mobil hybrid yang sangat irit dan sedikit mengalami teknologi elektrifikasi sebelum terjun ke mobil jenis lain seperti PHEV atau BEV.
Tangerang, AutonetMagz.com – Bertempat di daerah BSD, Tangerang Selatan, Citroen Indonesia mengajak beberapa media termasuk AutonetMagz untuk mencoba langsung produk terbaru mereka, Citroen C3. Dan lewat Mini Test Drive ini, kami berani bilang bahwa sensasi berkendara mobil ini cukup mengejutkan. Kok bisa? Simak artikel ini sampai habis.
Eksterior Funky, Tapi Interior….
Memang kesempatan yang diberikan oleh Citroen Indonesia tidaklah lama, hanya skeitar 30 menitan untuk mengitari area BSD yang cukup ramai. Namun, impresi pertama kami Ketika melihat langsung mobil ini adalah Funky. Bagaimana tidak funky, kombinasi warna yang berani, dengan dual tone berwarna orange, putih dan aksen-aksen krom terlihat eye catching. Dan perpaduan tersebut berhasil membuat mobil kecil ini tampil atraktif. Selain itu, Ketika masuk ke dalam kabin dan duduk di kursinya, kami cukup kaget dengan ergonomic jok depan yang mampu memeluk erat badan kami dan memberikan visibilitas yang baik.
Meskipun tidak dapat dipungkiri, penggunaan material plastik keras dan beberapa fit-finishing yang agak kasar di interior sempat membuat kami ragu akan kualitas berkendaranya. Namun, begitu pintu ditutup, ternyata konsep kepompong (Cocoon) yang dianut oleh Citroen berhasil mengisolasi suara-suara dari luar dengan baik. Alhasil, tingkat kebisingan dapat ditekan dengan amat baik, bahkan kami sempat bingung ketika akan memindahkan transmisi dan mencoba pedal gas. Kenapa? Karena dengungan mesin 3 silinder yang biasanya memiliki karakter yang khas hanya terdengar sayup-sayup di dalam kabin. Good job Citroen.
Kekedapan Juara, Suspensi Ternyaman
Ketika berjalan, langsung terasa bahwa mesin 3 silinder N/A yang disematkan di mobil ini memiliki karakter tenaga yang padat di putaran rendah. Dan ini terlihat saat mobil sama sekali tidak kesulitan untuk berakselerasi di kecepatan rendah. Citroen C3 juga sigap dan halus untuk digunakan di kondisi Stop and Go yang padat. Namun ketika sempat mencoba sampai gigi 4, terasa bahwa rasio gigi ketiga dan keempat cenderung lebih Panjang. Tidak ada dorongan lebih lanjut pun menegaskan karakter mesin yang lemah di putaran atas. Andai saja Citroen Indonesia membawa varian dengan mesin turbo, kelemahan mesin ini pasti teratasi.
Ok, boleh saja si Citroen C3 ini kalah dalam hal performa dibanding rival-rivalnya, namun ada satu hal yang benar-benar kami berikan jempol untuk mobil ini. Dan hal itu adalah bantingan suspensinya yang sangat nyaman. Bahkan kami berani bilang bahwa tingkat kenyamanan suspensi Citroen C3 Indonesia ini lebih baik dari kebanyakan mobil di segmen yang lebih tinggi dari mobil ini. Jadi, bisa dibilang Citroen C3 adalah mobil ternyaman di kelasnya. Memang kompensasi dari suspensi yang nyaman ini mengakibatkan body roll yang lumayan terasa terutama di kecepatan rendah, tetapi, mobil tetap enak dikendarai tanpa ada tendensi akan terguling atau melintir (tetap dalam control) dan tetap nyaman.
Kinerja Suspensi Ciamik
Sebuah tes yang cukup ekstrim sempat kami lakukan dengan mobil ini, yaitu melintasi polisi tidur yang cukup tinggi dengan kecepatan mencapai 60 km/jam. Dimana impresi awal yang kami pikirkan adalah akan ada bunyi keras dari suspensi yang menunjukkan limit dari suspensi tersebut. Namun hasilnya, di kecepatan 60 km/jam, mobil melewati polisi tidur dengan halus dan seakan-akan travel suspensi yang panjang mampu meredam rintangan tersebut. Kami juga tidak menemukan suara keras maupun rasa terpental yang umumnya kita temukan di mobil-mobil kebanyakan.
Konsep peredaman suspensi ini, seringkali ditonjolkan oleh Citroen dan telah menjadi trademark dari Citroen sejak dulu kala. Bahkan banyak yang berkata suspensi Citroen bekerja seperti mengendarai karpet terbang Aladin. Ajaib? Tentu tidak, karena itu merupakan hasil setup dan pengalaman berpuluh-puluh tahun dan disematkan di mobil ini sehingga dapat memanjakan konsumen yang menyukai kenyamanan dari sebuah kendaraan. Tentu saja kami belum sempat mencoba mobil ini di kondisi yang lebih ekstrim lagi dan dengan durasi yang lebih lama lagi, dikarenakan keterbatasan kesempatan yang diberikan di event ini.
Namun, kami sudah berencana akan meminjam dan melakukan tes lengkap dari mobil ini, jadi tetap stay tune di AutonetMagz.com!!
Bali, Autonetmagz.com – Pada hari Rabu, 25 Januari 2023, MG Motors Indonesia baru saja meluncurkan MG HS facelift yang tampil dengan desain terbaru yang cukup atraktif. Dan sebelum peluncuran resminya, tim AutonetMagz mendapatkan kesempatan untuk mencoba langsung MG HS Facelift ini di pulau dewata, Bali. Bagaimana impresi berkendara dan apa saja perubahan terbaru yang disematkan di mobil ini? Simak terus artikel ini.
Desain Lebih Terasa Eropa
Pertama kali melihat MG HS Facelift ini kita akan dibuat lumayan terkejut dengan desainnya, karena desain model sebelumnya yang terlihat seperti Mazda sekarang sudah hilang. Desainnya sekarang malah makin mirip mobil-mobil Eropa dengan grille yang menganga besar, dan shark nose styling seperti si MG 5 GT. Dimana styling ini menurut penulis pribadi menjadi mirip Maserati Levante atau mobil-mobil dari merk Jaguar. Lumayan cocok dengan heritage brand MG yang aslinya berasal dari Britania Raya. Sayangnya, perubahan masif di bagian depan tidak diikuti pada bagian sampingnya. Perbedaan signifikan di bagian samping hanya ada di desain velg nya yang mengadopsi desain baru yang disebut dengan desain Tomahawk atau kapak Indian yang terlihat lebih sporty.
Selain itu tidak ada perubahan lain pada siluet samping mobil ini yang membuatnya sedikit terlihat Out of Design jika melihat keseluruhan tampilannya. Pada bagian belakang ada sedikit perubahan pada sisi apron bawah beserta penyematan LED cluster baru di bagian lampu belakangnya. Sisanya? Tidak ada perubahan sama sekali yang membuatnya agak tanggung. Masuk ke interior, desain juga masih sama dengan versi sebelum facelift, namun sekarang warna kulit jok berubah menjadi hitam atau biru gelap (Hanya untuk mobil dengan cat exterior putih) ditambah adanya panel instrumen full LCD yang terbilang keren. Sisanya, tidak ada perubahan sama sekali di sisi desain, material, maupun tombol-tombol, untungnya, kualitas material dan fit finish antar sambungan panel masih amat baik.
Driving Quality Ciamik, Tapi…
Berkendara dengan MG HS Facelift di Bali merupakan suatu pengalaman tersendiri, karena dengan mesin yang tidak berubah (1500 cc Turbo yang menghasilkan 162 hp dan 250 Nm torsi) dipadukan dengan girbox 7 percepatan Dual Clutch, menyalip kendaraan lain di depan amatlah mudah. Hanya saja, girboxnya kadang agak bingung menentukan kapan untuk memindahkan atau menurunkan gigi sehingga mengakibatkan gejala tersendat terutama di kecepatan rendah. Padahal, begitu mesin disiksa di kecepatan tinggi ketika melewati tol bandara Bali, respon girbox amat sangat baik. Sedikit bisikan, menurut info yang kami terima, girbox HS facelift ini sudah mengadopsi wet girbox DCT, jadi seharusnya gejala menyendat di kecepatan rendah dapat lebih diminimalisir.
Satu komplain lain yang kami temukan adalah di respon pedal gas mobil yang memiliki delay. Jadi ketika kita menginjak gas, mesin akan terlambat merespon, sehingga membutuhkan pembiasaan untuk mengira-ngira kapan mesin akan merespon input dari kita. Beberapa kekurangan ini amatlah disayangkan mengingat mobil ini memiliki modal yang lebih dari cukup untuk bersaing melawan rival-rivalnya. Seperti bantingan suspensi yang firm tapi masih nyaman dengan travel panjang yang dapat meredam jalan-jalan berlubang dengan baik. Selain itu, dukungan tingkat NVH (Noise Vibration dan Harshness) yang mendukung kenyamanan dan tampilan baru yang makin enak dilihat dan meninggalkan kesan Mazda wannabe yang kental di model sebelum facelift-nya.
Dengan harga baru yang sudah mencapai 455,8 hingga 545,8 jutaan Rupiah, apakah MG HS Facelift menjadi best value car di segmennya? tidak sabar rasanya ingin mengkomparasikan mobil ini dengan rival-rivalnya dari Jepang mengingat harganya yang sudah bermain di kelas 500 Jutaan rupiah tentu saja memiliki banyak lawan yang sepadan dari segi harga maupun segementasi.
Surabaya, AutonetMagz.com – Di penghujung tahun 2022 kemarin, Yamaha Indonesia memperkenalkan versi terbaru dari maxi scooter 250cc mereka yaitu Yamaha X-MAX 250 Connected. Tim AutonetMagz sendiri telah merasakan langsung bagaimana peforma motor ini saat berkendara di Bali. Dan kali ini, giliran tim Surabaya yang menjajal peforma Yamaha X-MAX 250 Connected. Kebetulan, review versi lawas dari Yamaha X-MAX 250 pun diproduksi di Surabaya. Jadi, kami cukup familiar dengan motor gambot ini. Lantas, bagaimana rasa berkendaranya dibandingkan versi lawasnya?
Sesuaikan Karakter Orang Indonesia?
Jadi, PT Surya Timur Sakti Jatim (STSJ) selaku authorized main dealer di Jawa Timur menyediakan 10 unit Yamaha X-MAX 250 Connected untuk kami coba kemarin. Dan dalam kesempatan ini, kami diajak berkeliling kawasan Citraland Surabaya selama sekitar 30 menit. Beberapa kontur jalan seperti tanjakan, turunan, jalan aspal, jalan pavin block, hingga kepadatan lalu lintas pun kami rasakan. Walau memang tidak secara in depth. Dan kami pun merasakan bahwa sensasi berkendara Yamaha X-MAX 250 Connected kini telah berubah ketimbang versi lawasnya. Kini, Yamaha X-MAX 250 Connected menurut kami lebih cocok dengan karakter orang Asia, khususnya orang Indonesia. Kok bisa?
Sedikit flashback, kami sempat meminjam Yamaha X-MAX 250 versi lama dari Yamaha Jatim sebanyak 2 kali. Dan setiap kali meminjam motor ini, jangka pemakaiannya juga cukup lama. Mingguan, bukan harian. Kami pun merasa peforma motor ini cukup impresif. Yamaha X-MAX 250 versi lama bak jadi motor idaman para pengguna Yamaha N-MAX 155. Mesinnya lebih bertenaga, namun disaat yang bersamaan juga halus. Bantingan suspensinya sangat cocok untuk touring, karena tergolong sangat nyaman. Bagasinya pun besar, dan dimensinya pun hampir identik dengan sang kakak, Yamaha T-MAX. Lalu, bagaimana dengan Yamaha X-MAX 250 Connected? Tentunya masih mirip, namun dengan sejumlah revisi.
Lebih Kaku, Tapi Lebih Sat Set
Yang paling pertama kami rasakan adalah posisi duduknya yang kini sedikit berubah. Bagian samping jok depan lebih dipapas sehingga posisi kaki tidak selebar versi lama. Selain itu, bantingan suspensinya kini tidak selembut versi lawas. Dibuat sedikit kaku, namun hal ini nampak berimbas pada handling-nya yang malah lebih enak untuk bermanuver. Thanks to revisi ukuran handle bar juga. Mesin masih sama plek, namun ada remapping di ECU-nya dan penambahan heater untuk AFR O2. Alhasil, keluaran tenaganya terasa lebih galak ketimbang yang lama. Versi lama, power delivery-nya halus, namun bisa jadi malah terkesan lemot untuk beberapa orang. Dan hal inilah yang direvisi di versi terbaru ini.
Jadi, kasarnya, Yamaha X-MAX 250 versi lawas lebih terasa Eropa, sedangkan Yamaha X-MAX 250 Connected lebih terasa Asia secara karakter. Bisa jadi, perubahan karakter ini juga untuk diberikan karena biasanya pengguna Yamaha X-MAX 250 menggunakan motornya untuk touring dengan sejumlah moge yang kubikasinya lebih besar. Apalagi, kami banyak mendengar bahwa tak jarang Yamaha X-MAX 250 diposisikan sebagai RC dalam rombongan. Power delivery yang lebih galak tentunya diperlukan untuk keep up dan juga mengimbangi motor lain yang lebih besar. Posisi duduk masih cukup mirip, pun begitu dengan posisi kakinya. Masih tergolong nyaman untuk sebuah skutik bongsor.
Fitur Navigasi Adalah Koenci
Dan terakhir, kita bergeser ke bagian kunci yang membuat Yamaha X-MAX 250 Connected berbeda. Yap, Navigasi adalah kuncinya. Kini, Yamaha X-MAX 250 Connected telah dibekali 2 buah layar, dimana layar di sisi bawah adalah MID dan sistem infotainment yang menggunakan layar TFT. Fitur paling penting adalah navigasi, dimana Yamaha X-MAX 250 Connected kini memiliki konektivitas dengan Garmin StreetCross. Cara penggunaannya pun terbilang mudah, dimana kita hanya perlu mengunduh aplikasi Y-Connect dan Garmin StreetCross, pairing, dan beres. Apakah ini fitur gimmick? Menurut kami tidak, karena justru navigasi adalah kunci penting yang dibutuhkan pengguna Yamaha X-MAX 250 Connected.
Seperti yang kami singgung, pengguna Yamaha X-MAX 250 banyak menggunakan motornya untuk touring. Dan setiap perjalanan touring, navigasi tentu menjadi hal yang krusial, apalagi jikalau pengguna Yamaha X-MAX 250 Connected menjadi RC. Inilah yang nampaknya ditangkap oleh Yamaha dan diwujudnyatakan di motor ini. Nice. Tentunya, kami masih ingin menggali lebih dalam bagaimana sensasi berkendara Yamaha X-MAX 250 Connected. Apalagi, Yamaha Jatim juga akan menggelar touring bertajuk Navigate To The Max : Tour De Bromo. Yamaha X-MAX 250 Connected hadir dalam 4 varian warna yaitu Dark Petrol, Luxury Red, Premium Black, dan Juga Prestige Grey serta dibanderol dengan harga Rp 66.909.000 (OTR Surabaya)
“Sejak pertama kali XMAX Connected meluncur di Jawa Timur, produk terbaru kami di keluarga Maxi Yamaha terus mendapatkan respon yang positif dari Masyarakat. Maka dari itu, hari ini kami memberikan kesempatan kepada rekan-rekan media untuk merasakan secara langsung keunggulan dari model tertinggi skutik premium ini. Terlebih motor ini hadir dengan pembaruan, dari sisi desain, fitur teknologi, hingga pengoptimalisasian performa mesin dari generasi sebelumnya,” ungkap Rifany Widjaja, Deputy Director Sales & Marketing Yamaha STSJ. Jadi, bagaimana menurut kalian?
Surabaya, AutonetMagz.com – Geliat Yamaha di segmen motor 125cc sedang cukup ‘panas’ dengan segmen classy mereka. Setelah setahun lalu memperkenalkan Yamaha Fazzio, kini Yamaha memperkenalkan sang kakak yaitu Yamaha Grand Filano. Dan tim AutonetMagz mendapatkan kesempatan untuk mencoba langsung Yamaha Grand Filano saat momen peluncurannya di Surabaya kemarin. Lantas, seperti apa rasanya? Yuk kita bahas.
Bantingan Lebih Nyaman Dari Fazzio
Sebagai catatan, waktu yang kami dapatkan untuk mencoba motor ini tidak terlalu banyak karena harus bergantian dengan awak media yang lainnya. Namun, setidaknya impresi pertamanya telah tergambar di benak kami. Kami mengendarai Yamaha Grand Filano di area perumahan Citraland Surabaya, baik di jalanan aspal maupun di jalanan paving block. Yang kami rasakan pertama adalah handling motor ini yang terbilang lincah, gesit, alias sat set. Sebenarnya, hal ini cukup masuk akal karena secara mesin dan dimensi, Yamaha Grand Filano tidak terlalu berbeda dengan Yamaha Fazzio. Penggunaan ban yang lebar tapi berdiameter kecil juga mendukung kemampuan manuver motor ini.
Untuk bantingan suspensi, Yamaha Grand Filano juga terasa lebih nyaman ketimbang sang adik, Yamaha Fazzio. Suspensi belakang Yamaha Grand Filano nampak bisa meredam jalanan yang tidak rata dengan lebih baik. Pun begitu dengan jok yang kami rasa lebih nyaman ketimbang milik Yamaha Fazzio. Untuk peforma pengereman pun terbilang lumayan, dimana peforma rem depan bisa kita andalkan untuk sedikit hard braking. Satu hal yang paling berkesan bagi kami adalah panel instrumen yang terlihat cukup jelas berkat ukurannya yang cukup jelas dan desain batok lampu depan yang juga lebar.
Mesin Identik Fazzio
Plus, penggunaan sub display model TFT juga cukup terlihat jelas di siang hari, walaupun kemarin kondisinya masih terbilang mendung. Sistem start stop di motor ini juga bekerja dengan cukup baik dan halus. Untuk mesin, berhubung mesin yang digunakan oleh Yamaha Grand Filano sama persis dengan Yamaha Fazzio, kami pun menemukan kesan yang sama persis. Tenaganya memang ada di putaran mesin yang tinggi, namun sensasi boost di detik-detik pertama gas dibuka memang cukup unik. Ada sensasi suara ala motor listrik yang terdengar di beberapa detik pertama. Tenaganya pun cukupan untuk dipakai berkomunter di dalam kota.
Tentunya kami berharap bisa segera meminjam unit tersebut untuk merasakan lebih dalam peforma dan riding quality serta konsumsi BBM-nya. Bagaimana menurut kalian?
Surabaya, AutonetMagz.com – Sejak comeback ke tanah air, Chery terus menerus menggaungkan 2 produk andalannya untuk mengarungi pasar Indonesia. Keduanya adalah Chery Tiggo 7 Pro dan Chery Tiggo 8 Pro. Nah, di kesempatan kali ini, tim AutonetMagz diundang oleh Manang Chery Jawa Timur untuk mencoba keduanya. Dan di artikel ini, kami akan membahas mengenai impresi berkendara dari Chery Tiggo 8 Pro. Cekidot.
Posisi Duduk Ala SUV Tulen
Perjalanan dimulai dari diler Manang Chery yang berlokasi di Jalan Raya Prapen no 305. Kami mendapatkan kesempatan untuk mencoba Chery Tiggo 8 Pro terlebih dahulu dengan checkpoint pertama di Rest Area KM 66 Purwodadi. Saat duduk di belakang kemudi Chery Tiggo 8 Pro, yang pertama kali kami rasakan adalah posisi duduk yang commanding. Kap mesin terlihat sepenuhnya, khas sebuah SUV. Sedangkan pengaturan kursi dan setir terbilang sangat fleksibel. Thanks to jok elektriknya yang sudah disokong fitur lumbar support, dan setir dengan pengaturan tilt & telescopic.
Kursi pengemudinya juga bisa maju dan mundur sendiri untuk memberi akses keluar masuk saat mobil dimatikan atau dinyalakan. Oiya, ngomong-ngomong kursi, Chery Tiggo 8 Pro memiliki kursi depan dengan support kanan dan kiri yang baik. Jadi, kursi ini bisa membekap badan dengan baik. Selain itu, headrest di mobil ini juga terbilang nyaman. Fitur-fitur di area pengemudi pun bisa dijangkau dengan baik, hanya saja kami menyayangkan bentuk kontroler AC yang menggunakan model layar sentuh, walaupun tidak semua pengaturannya berupa sentuhan. Masih ada dial fisik, namun tak banyak. MID di mobil ini juga sudah full digital, informatif, dan tampilannya pun cukup kontras.
Kekedapan Kabin Bagus, Gas Butuh Adaptasi
Kami pun mulai berjalan dengan Chery Tiggo 8 Pro, dan satu hal yang membuat kesan yang positif di awal adalah kekedapan kabinnya. Kabin Chery Tiggo 8 Pro termasuk yang paling kedap di level harganya. Dan kekedapan kabin ini bisa membuat kualitas audio di dalam kabin menjadi lebih nikmat. Untuk penggunaan dalam kota, visibilitas Chery Tiggo 8 Pro juga terbilang bagus. Kaca spion samping berukuran besar, dan spion tengah sudah electrochromatic. Mungkin hanya pilar A saja yang menurut kami agak terlalu besar. Kelegaan kabin juga makin terasa berkat adanya panoramic sunroof. Berikutnya, handling Chery Tiggo 8 Pro di perkotaan juga masih sangat friendly.
Walaupun mobil ini tidak kecil, namun bermanuver dengan Chery Tiggo 8 Pro tidak terasa susah. Satu hal yang kami garis bawahi adalah pedal gasnya. Poin plusnya, pedal gas di mobil ini menggunakan model piano. Membuatnya terasa makin seperti mobil eropa. Namun, pedal gas Chery Tiggo 8 Pro juga jadi tantangan tersendiri bagi kami. Berhubung mesin 2.000cc Turbo di Chery Tiggo 8 Pro menghasilkan tenaga 250 hp dan torsi 390 Nm, maka jelas kita tidak bisa asal menginjak gas. Sayangnya, gas di Chery Tiggo 8 Pro agak ‘lompat’ saat sedikit kami injak. Butuh pembiasaan untuk membuatnya bisa melaju dengan smooth, apalagi jikalau kalian mengaktifkan fitur Auto Hold.
ACC Smooth, Bantingan Moderat
Padahal, saat masih di Surabaya, kami menggunakan mode berkendara normal, bukan Sport. Bergeser ke jalan tol, kami pun langsung mengaktifkan fitur adaptive cruise control-nya. Fitur ini terasa sangat memanjakan saat berjalan di jalan bebas hambatan. Sayangnya, Chery Tiggo 8 Pro belum dibekali fitur lane keeping assist, namun fitur lane departure warning dan blind spot warning masih ada kok. Jadi, kita masih harus memegang setir untuk mengemudikan kendaraan. Jarak ACC di Chery Tiggo 8 Pro juga bisa diatur dekat atau jauhnya. MID juga bisa memberikan data jarak berupa sekian meter dengan mobil depan. Nice.
Poin plus lainnya, ACC di Chery Tiggo 8 Pro terbilang smooth. Baik untuk melakukan pengereman, maupun akselerasi. Sedikit catatan, proses akselerasi yang smooth ini bisa saja dianggap lemot oleh beberapa orang. Setir pun akan memberat saat kita berjalan dengan kecepatan yang tinggi, hanya saja, menurut kami masih kurang secara bobot. Nah, di jalan tol inilah kami menilai bantingan suspensi Chery Tiggo 8 Pro terbilang bagus. Suspensinya tidak keras, namun tidak sampai empuk yang mentul-mentul. Rebound suspensinya termasuk cepat, dan membuat penumpang nyaman. Kasarnya, bantingannya ala-ala mobil eropa. Dan kalian memang harus mencoba sendiri untuk membuktikan hal ini.
Mesin Buas, Sampai Torque Steer
Untuk mesin, Chery Tiggo 8 Pro menurut kami menggunakan mesin yang termasuk ‘overkill‘ untuk ukurannya. Bahkan, kami sempat merasakan gejala torque steer saat berakselerasi dengan mobil ini. Namun, di sisi lain, tenaga dan torsi yang melimpah ini sangat cocok dipakai untuk mendahului mobil di depan. Tak perlu effort yang besar untuk menyentuh angka 160 km/jam, cukup gas tipis-tipis saja. Peforma transmisi DCT-nya juga terbilang halus. Hanya saja, saat kita berbelok, kesan limbung dan bodyroll tentunya masih terasa. Bagaimana dengan kemampuan menanjak? Jangan tanya, mesin 2.000cc Turbonya lebih dari cukup untuk menanjak.
Saat memasuki kawasan Batu, kami juga merasakan beberapa poin menarik. Pertama, Chery Tiggo 8 Pro bisa mendeteksi posisi mobil belakang saat kita melakukan pengereman. Dan saat hal tersebut terjadi, serta posisi mobil di belakang cukup dekat, maka ESS akan otomatis menyala. Detail simpel yang kami pun tak terpikirkan. Kami juga sempat berkendara di gang-gang kecil yang biasanya jadi momok untuk mobil dengan dimensi besar. Dan dalam hal ini, kamera 360 jadi penyelamat. Tampilan citranya cukup jelas dan bisa dimanfaatkan untuk memonitor ujung-ujung body mobil. Bagaimana dengan konsumsi BBM? Kami mendapatkan angka 8,77 km/liter selama perjalanan.
Kesimpulan
Jadi, kesimpulannya, untuk siapakah Chery Tiggo 8 Pro? Tentunya untuk kalian yang ingin membeli SUV bermesin Buas dengan karakter bantingan dan kekedapan kabin ala-ala mobil Eropa. Selain itu, Chery Tiggo 8 Pro juga cocok untuk kalian yang ingin tampil anti mainstream. Hanya saja, kami menggaris bawahi bahwa kalian harus bijak menggunakan mobil ini, karena tenaganya terbilang besar. Bagaimana kalau menurut kalian?
Surabaya, AutonetMagz.com – Selain mencoba Chery Tiggo 8 Pro, tim AutonetMagz juga mendapatkan kesempatan untuk mengeksplorasi rasa berkendara dari Chery Tiggo 7 Pro. Yap, masih di rangkaian perjalanan Surabaya – Batu di Media Test Drive yang digelar oleh Manang Sukses Abadi selaku authorized dealer Chery di Jawa Timur. Nah, dalam perjalanan kembali ke Surabaya, kami bertukar mobil dan mencoba Chery Tiggo 7 Pro. Lantas, bagaimana peformanya? Cekidot.
Tipe Standard, Posisi Duduk Fleksibel
Sama seperti sang kakak, kita akan mulai dari posisi berkendaranya. Dan lagi-lagi, Chery nampak ingin menghadirkan kesan SUV tulen di Chery Tiggo 7 Pro. Posisi duduknya lebih tinggi dari sub compact SUV kebanyakan. Kap mesin terlihat jelas, dan rasa berkendaranya commanding. Kabar baiknya untuk kalian yang suka posisi berkendara yang tinggi. Sedangkan untuk fleksibilitas duduk, Chery Tiggo 7 Pro juga cukup fleksibel. Setir bisa tilt dan telescopic, serta kursinya punya pengaturan yang banyak. Bedanya, Chery Tiggo 7 Pro yang kami pakai masih menggunakan mekanisme manual, belum elektrik seperti yang hadir di tipe yang lebih tinggi.
Visibilitas mobil ini juga terbilang bagus, walaupun kaca spion tengah masih model day & night biasa. Untuk urusan jok, Chery Tiggo 7 Pro juga masih memberikan jok kulit yang nyaman untuk digunakan. Support samping di jok ini juga mampu membekap tubuh dengan baik. Apalagi, kami menggunakan mobil ini cukup sat set dari Batu ke Surabaya untuk menghindari jam pulang kerja. Panel instrumen gabungan digital dan panel dot matrix. Tingkat kecerahannya pun bisa diatur di head unit. Sama seperti kakaknya, kami juga menyayangkan mengapa kontroler AC menggunakan model touch. Walaupun, tidak semua pengaturan AC harus menekan touchbar-nya.
Suspensi Lebih Kaku, Tapi…
Oke, kita mulai berkendara. Berhubung kami sebelumnya menggunakan Chery Tiggo 8 Pro yang lebih besar, maka mengendarai Chery Tiggo 7 Pro jelas lebih mudah. Padahal, kalau diperhatikan, dashboard kedua mobil ini memiliki beberapa bagian yang identik, yang biasanya juga akan berpengaruh pada perspektif berkendara kita. Rintangan pertama yang kami lalui adalah turunan curam dengan jalanan yang terbuat dari paving block. Kami pun menyerahkan deselerasi mobil pada fitur hill decent control. Oiya, fitur ini bisa dimatikan atau dinyalakan dengan tombol di sisi kanan. Fitur ini sangat membantu kami, walaupun suara pengereman yang dihasilkan agak mengganggu di awal.
Sama seperti sang kakak, Chery Tiggo 7 Pro memiliki kekedapan kabin yang bagus untuk kelas harganya. Belum sebaik kakaknya memang, tapi jelas cukup baik ketimbang pemimpin pasar di segmennya. Untuk bantingan suspensi, Chery Tiggo 7 Pro memiliki karakter yang lebih kaku ketimbang sang kakak. Apakah keras? Menurut kami tidak, masih di taraf yang cukup nyaman. Tapi jelas, bantingan Chery Tiggo 7 Pro bukan yang ternyaman di kelasnya. Setting suspensi yang lebih kaku pun berimbas baik pada pengendalian, dimana handling mobil ini lebih tajam ketimbang sang kakak. Kami pun lebih pede bermanuver dan menyalip mobil di depan.
Mesin Lebih Friendly, Transmisi Halus
Untuk urusan mesin, Chery Tiggo 7 Pro mengandalkan mesin 1.500cc Turbo dengan tenaga 155 hp dan torsi 230 Nm. Angka yang sebenarnya lebih dari cukup untuk mobil 4,5 meter. Saat kami injak pedal gas, respon mesin pun masih lebih ‘friendly‘ ketimbang sang kakak yang buas. Tapi, saat kita menginjak gas lebih dalam, turbo yang kick in akan menghantarkan torsi maksimal yang setara mobil 2.400cc. Cukup untuk membuat kami pecicilan dan selap selip di jalanan menuju Surabaya. Transmisi CVT-nya juga terbilang halus, namun rubber band effect-nya masih terasa. Walaupun tidak sampai yang sangat mengganggu.
Berhubung tipe yang kami gunakan belum ada ADAS, maka kami manfaatkan saja fitur cruise control di mobil ini. Awalnya kami berjalan santai menggunakan cruise control di dalam tol. Setelah itu, kami penasaran dengan peformanya, dan sedikit menginjak gas lebih dalam. Walaupun begitu, kami masih mendapatkan konsumsi BBM di angka 15,6 km/liter, kombinasi. Padahal, kami tidak eco driving sama sekali. Untuk gejala body roll sendiri jauh lebih minim ketimbang sang kakak. Oiya, pedal gas mobil ini juga sudah model piano lho. Sedangkan pedal remnya masih agak sedikit dalam, baru rem akan bekerja dengan maksimal.
Kesimpulan
Jadi, kesimpulannya, siapa yang cocok menggunakan Chery Tiggo 7 Pro? Mobil ini paling cocok untuk kalian golongan anti mainstream yang ingin membeli sub compact SUV dengan mesin turbo. Ingat, opsi SUV di segmen ini yang menggunakan mesin turbo hanya ada 3 model saja. Selain itu, Chery Tiggo 7 Pro cocok untuk kalian yang suka dengan mobil yang punya built quality jempolan, fitur yang banyak, dan juga karakter berkendara yang sporty. Pastikan kalian mencoba langsung mobil ini untuk merasakan impresinya. Jadi, bagaimana menurut kalian?
AutonetMagz.com – Dalam perjalanan AutonetMagz mengunjungi fasilitas Chery di Wuhu, China baru-baru ini, kami diberikan kesempatan untuk mencoba beberapa model terbaru dari Chery langsung di sirkuit pengetesan mereka. Apa saja impresi kami terhadap mobil-mobil tersebut? baca secara lengkap artikel ini!
Chery Omoda 5
Memang kami sudah mencoba si Omoda 5 ini di Indonesia, tapi mencoba model terbaru berplatform T1X di tanah kelahirannya ini sendiri amatlah menyenangkan. Trek pendek milik Chery International ini memang tidak cukup untuk menguji performa maksimal dari Omoda 5. Namun di area Skid Pad, kami dapat menguji performa sasis Omoda 5 yang sebenarnya cukup mengagumkan untuk sebuah mobil Tiongkok. Gejala body roll yang minim ditunjang oleh basis body yang kaku membuat menekuk Omoda 5 dengan kecepatan sedang menuju tinggi tidak membuat mobil di luar kontrol pengemudi.
Malahan, mobil seakan menantang untuk dipacu untuk mendekati limitnya. Di samping itu, melihat Omoda 5 dipacu dalam kecepatan tinggi di dalam sirkuit memang menegaskan konsep Art in Motion dari mobil-mobil Chery terbaru ini. Kok bisa? Karena mobil terlihat dinamis baik dalam kondisi diam maupun bergerak. Ditambah penerapan kursi semi-bucket dan flat-bottomed steering wheel menambah elemen sporty dari Chery Omoda 5.
Chery Tiggo 7 PHEV
Sekarang giliran si Chery Tiggo 7 PHEV. Memang mobil ini sama dengan versi yang dijual di Indonesia, perbedaan versi PHEV ini hanya pada di bumper depan dengan aksen biru, tutup velg ala-ala mobil Hybrid, aksen biru di belakang beserta charging port di sisi depan kiri mobil yang mengadopsi Charging socket tipe GB/T. Masuk ke interior, juga tidak ada perbedaan signifikan sama sekali di interiornya, hanya ditemukan tombol-tombol pemilihan mode EV dan HEV di konsol tengah yang bisa memindahkan mode berkendara.
Mencoba Chery Tiggo 7 PHEV pertama kali, kami memutuskan untuk menggunakan mode Full EV, dengan jarak tempuh mencapai lebih dari 100 Km. Chery Tiggo 7 PHEV dapat digunakan untuk menunjang perjalanan sehari-hari tanpa harus mengisi bensin sama sekali. Di mode EV, akselerasi terasa spontan namun halus, dan tipikal dengan EV lainnya. Tenaga terasa kurang begitu kecepatan sudah menyentuh 60 km/jam ke atas, sehingga kami memutuskan untuk mengganti dengan mode HEV atau mode Hybrid.
Di mode Hybrid ini, terasa sekali penyematan motor listrik dikombinasikan dengan mesin Direct Injection turbo mampu memberikan sensasi akselerasi di seluruh rentang kecepatan. Sehingga sensasi berkendaranya makin terasa lebih refine. Bisa dibilang teknologi PHEV mampu mengakomodasi keinginan untuk memiliki maupun mengendarai sebuah mobil listrik minus kekhawatiran harus men-charge setiap kali melakukan perjalanan jauh.
Chery Tiggo 8 PHEV
Yang terakhir kami coba adalah Chery Tiggo 8 PHEV, dimana secara eksterior dan interior tidaklah ada perbedaan signifikan antara versi PHEV ini dengan versi ICE. Mungkin hanya di tombol pemilihan mode EV atau HEV seperti yang kita temui di Tiggo 7 PHEV. Sama seperti sewaktu mencoba Tiggo 7, kami mencoba versi EV nya terlebih dahulu, dan setup dua motor di mobil ini mampu memberikan akselerasi yang halus namun instan. Ditambah range full listrik yang mencapai 100 km dari baterai sebesar 19,27 kWh ini lebih dari cukup untuk pulang pergi ke kantor tiap hari.
Berganti ke mode hybrid, baru terasa kombinasi mesin Direct Injection 1.5 liter Turbo dengan motor listrik mampu menghasilkan 320 tenaga kuda dan torsi 545 Nm yang terasa lebih dari cukup untuk melajukan Chery Tiggo 8 PHEV ke kecepatan lebih dari 100 kph dalam waktu 7 detikan saja. Bisa dibilang teknologi PHEV yang disematkan oleh Chery di mobil-mobilnya dapat meningkatkan value dari mobil-mobil Chery ke depannya. Yang kita tunggu adalah, kapan kehadiran dari line-up PHEV ini di Indonesia, dan berapa harga yang disematkan di line-up PHEV ini.
Surabaya, AutonetMagz.com – Beberapa waktu lalu, Honda Indonesia telah memperkenalkan jagoan terbaru mereka di segmen small SUV yaitu Honda WR-V. Mobil ini pun telah kami coba di pulau Dewata pada bulan Desember 2022 silam. Bagi kalian yang ingin membaca bahasan lengkapnya, bisa cek artikel yang ada di link berikut ini. Nah, kali ini, tim AutonetMagz kembali mendapatkan kesempatan untuk mencoba langsung Honda WR-V (lagi). Bedanya, kali ini kami berfokus untuk menjadi penumpang mobil ini. Bagaimana rasanya? Yuk kita bahas.
Bukan Sekedar Versi Pendek BR-V
Banyak orang yang berpendapat bahwa Honda WR-V adalah Honda BR-V versi short wheelbase. Well, sebenarnya konsep tersebut tidaklah salah. Toh memang Honda WR-V menggunakan basis dari Honda BR-V. Namun, saat kita sudah masuk ke sisi dalam dan berkendara menggunakan mobil ini, maka kita bisa merasakan sensasi yang berbeda. Honda WR-V melakukan pendekatan yang berbeda dengan sang kakak, dimana aspek sporty dan aktif menjadi value yang penting. Berbeda dengan Honda BR-V yang kesannya lebih ke elegan dan comfort.
Dari wajah depannya saja, kita bisa mendapati bahwa Honda WR-V memang menyuguhkan aura sporty yang lebih kental ketimbang sang kakak. Penggunaan lampu depan dengan teknologi LED, termasuk juga LED Sequential turning light serta LED Foglamp membuatnya terlihat modern. Grille depannya nampak menggunakan desain yang ‘diturunkan’ dari sang kakak, Honda HR-V RS dengan motif ala diamond. Honda WR-V juga memiliki opsi dual tone dengan atap dan spion hitam, serta velg 17 inci dual tone yang membuat tampilannya terkesan bold. Walaupun kami pribadi masih lebih menyukai desain velg milik Honda BR-V.
Bantingan Kaku, Tapi Memang Seharusnya Begitu
Masuk ke sisi dalam, Honda WR-V menggunakan dashboard yang cukup identik dengan Honda BR-V. Bedanya, aksen berwarna merah lebih banyak kita temukan di interior mobil ini. Biar sporty. Permainan soft touch juga masih bisa kita temui, walaupun memang tidak terlalu banyak. Masih masuk akal di segmen harganya. Nah, yang ingin kami soroti kali ini adalah rasa berkendaranya sebagai penumpang. Harus diakui, Honda WR-V memang memiliki bantingan suspensi yang lebih kaku ketimbang sang kakak. Bagi beberapa orang, memang karakter bantingan seperti ini akan membuat tidak nyaman. Namun, ada beberapa faktor yang harus digaris bawahi.
Pertama, bantingan Honda WR-V bukanlah yang terkeras di antara jajaran keluarga Honda. Honda Brio memiliki bantingan yang lebih kaku ketimbang Honda WR-V. Kedua, karakter bantingan yang lebih kaku memberikan handling yang lebih tajam dan sporty. Dan ini sesuai dengan target konsumen yang disasar. Dan ketiga, melihat target konsumennya yang berada di usia muda, maka bantingan semacam ini memang biasanya cukup ideal. Terlebih, target konsumen Honda WR-V biasanya memang mencari mobil yang karakternya lebih ke sporty ketimbang comfort. Dan itulah pentingnya mencoba mobil sebelum membelinya sehingga kalian tidak salah pilih.
Ruang Paling Lega, Mesin Paling Bertenaga
Poin plus lainnya yang kami rasakan di dalam kabin dari Honda WR-V adalah kelegaan ruangnya. Kami sempat membandingkan data dimensi Honda WR-V dengan beberapa rival di kelasnya. Dan hasilnya, Honda WR-V masuk dalam jajaran small SUV dengan dimensi paling mungil. Walaupun begitu, Honda tetap menunjukkan tajinya dalam mengakali ruang kabin. Honda WR-V memiliki kabin yang bisa dibilang paling lega di kelasnya, terutama saat kita menyinggung kelegaan baris keduanya. Bagasinya pun juga masuk ke kategori yang cukup luas untuk mengakomodir barang bawaan.
Dan terakhir, Honda WR-V juga memiliki mesin yang paling bertenaga di kelasnya. Honda nampak tidak mau FOMO dengan menanamkan mesin turbo di Honda WR-V. Alih-alih, Honda WR-V malah menggunakan mesin 1.500cc i-VTEC seperti Honda BR-V dan Honda HR-V. Mesinnya jadi yang paling bertenaga di kelasnya, dan dipadukan dengan CVT khas Honda yang masih jadi yang terbaik saat ini di segmennya. Setidaknya, kita tidak perlu khawatir dengan gejala turbo lag ataupun resiko engine mounting yang harus rentan rusak seperti lawan-lawannya yang menggunakan mesin 3 silinder. Hanya saja, soundproofing masih jadi pekerjaan rumah untuk Honda di mobil ini.
Honda Surabaya Center Ajak Media Rasakan WR-V
Ang Hoey Tiong selaku President Director Honda Surabaya Center (IMSI) mengatakan, “Melihat banyaknya antusias media terhadap Honda WR-V, Kami kembali mengajak media Surabaya untuk mencoba secara langsung performa Honda WR-V melalui acara Honda WR-V Media Test Drive. Kami berharap media dapat mengenal lebih jauh mengenai fitur-fitur dari Honda WR-V yang tertinggi di kelasnya sepanjang rute Surabaya – Pandaan hari ini”. Dalam perjalanan kali ini, Honda mengajak awak media bergerak dari Surabaya ke arah Taman Dayu.
Dalam rute ini, awak media diajak melewati jalan tol dan beberapa jalanan menanjak yang bisa memberikan impresi berkendara Honda WR-V. Bagi kami sendiri, Honda WR-V lebih dari kata mampu untuk melibas trek kali ini. Di Surabaya, Honda WR-V juga dijual dalam 3 varian yaitu tipe E, RS, dan RS dengan Honda Sensing. Seluruhnya dijual dalam opsi transmisi CVT. Varian E dijual dengan harga 283,9 jutaan Rupiah, sedangkan varian RS dijual dengan harga 301,9 jutaan Rupiah. Tipe tertinggi yaitu RS dengan Honda Sensing dibanderol 321,9 jutaan Rupiah. Opsi dual tone dipasarkan lebih mahal sekitar 2,5 jutaan Rupiah.
Surabaya, AutonetMagz.com – Untuk kalian yang sudah pernah menonton review Yamaha X-MAX 250 yang dibuat oleh tim Surabaya, maka kalian mungkin paham bahwa penulis cukup kagum pada motor ini. Motor yang ukurannya tidak kecil, namun punya banyak nilai positif yang membuatnya cukup berkesan. Dan kali ini, tim AutonetMagz mendapatkan kesempatan spesial untuk mencoba versi terbaru dari Yamaha X-MAX 250. Dan makin spesial lagi, karena kesempatan ini berupa touring ke Gunung Bromo. Yuk kita bahas.
Membelah Aspal Kota Pahlawan
Jadi,Yamaha Jatim alias Yamaha Surya Timur Sakti Jatim (STSJ) mengajak tim AutonetMagz untuk mencoba Yamaha X-MAX 250 dengan rute Surabaya – Bromo via Nongkojajar. Dan perjalanan ini tentunya PP alias Pulang Pergi. Perjalanan dimulai di hari Sabtu, 11 Februari 2023 di pagi hari. Sebanyak 10 motor Yamaha X-MAX 250 Connected telah disediakan, dan kami juga akan ditemani 5 unit Yamaha X-MAX 250 dari komunitas X-MAX. Segala perlengkapan pun telah dipersiapkan, termasuk juga memanfaatkan fitur Y-Connect dan Navigasi yang terhubung via aplikasi Garmin StreetCross. Segalanya telah siap, dan kami pun siap berangkat.
Perjalanan dimulai, dimana kami mengitari jantung kota Surabaya terlebih dahulu untuk kebutuhan dokumentasi pihak Yamaha. Setelah itu, kami pun bergerak ke pinggiran kota Surabaya. Di dalam kota, Yamaha X-MAX 250 tentunya tidak mengeluarkan peforma terbaiknya. Walaupun begitu, tapak ban yang lebar dan tenaga yang mumpuni membuat kami hanya perlu memuntir gas tipis-tipis saja. Selain itu, walapun Yamaha X-MAX 250 memiliki body yang bongsor, namun kami tidak kesusahan membelah kemacetan di hari Sabtu pagi yang cerah itu. Semuanya aman dan terkendali.
Geber di Jalur Porong – Purwodadi
Bergeser ke kota Sidoarjo, rombongan Yamaha X-MAX 250 masih bertemu dengan kepadatan lalu lintas di kota penunjang Surabaya itu. Kami pun cukup rileks di perjalanan ini, thanks to jok yang nyaman dan ergonomi yang rileks dari Yamaha X-MAX 250. Selepas stasiun Porong, kami pun mendapatkan kesempatan untuk sedikit bermain dengan gas Yamaha X-MAX 250. Tim AutonetMagz pun memuntir gas sedikit lebih dalam dan mendapatkan kecepatan di angka 110 km/jam dengan usaha yang minim. Namun, padatnya lalu lintas membuat kami berpikir dua kali untuk memutar gas lebih dalam. Setidaknya, motor ini sangat bisa diandalkan jika perlu kecepatan tinggi.
Nah, ada hal yang kami catat, dimana windshield terasa kurang tinggi di posisi standarnya. Untungnya, Yamaha telah membekali windshield Yamaha X-MAX 250 dengan 2 step. Oiya, bagian ini juga terasa lebih solid ketimbang versi lama. Singkat cerita, kami pun bergerak ke kaki gunung Bromo via Nongkojajar. Sebenarnya, rute ini cukup familiar bagi kami, karena sebelumnya kami juga ikut dalam rombongan touring mobil lewat rute yang sama. Bedanya, kali ini kami naik Yamaha X-MAX 250. Torsinya yang ada di angka 24 Nm membuat Yamaha X-MAX 250 cukup ringan untuk melahap tanjakan di kawasan Nongkojajar. Pun begitu saat kami harus sedikit berakselerasi untuk melewati kendaraan di depan.
Sikat Jalur Nongkojajar & Tanjakan Adsense
Ada 2 hal yang kami soroti, yaitu karakter bukaan gas dan juga bantingan suspensinya. Bukaan gas di Yamaha X-MAX 250 terasa lebih galak ketimbang versi terdahulu. Oleh karenanya, tak susah untuk melahap tanjakan ataupun berakselerasi dengan motor ini. Rasanya mirip Yamaha N-MAX versi 250cc. Pun begitu dengan bantingan suspensi yang kini sedikit lebih kaku, namun di sisi lain memberikan handling yang lebih mumpuni. Lagi-lagi, rasa berkendaranya mirip Yamaha N-MAX tapi versi 250cc. Saat melibas kelokal di Nongkojajar, kami tidak merasakan sensasi limbung ataupun tak stabil yang ditemui di versi lawas.
Kami pun melewati tanjakan sikut alias tanjakan adsense di kawasan Nongkojajar. Mampukah Yamaha X-MAX 250? Lebih dari mampu, malahan effort-nya tak terlalu besar. Peforma pengereman di Yamaha X-MAX 250 juga bisa diandalkan. Bagaimanapun juga, selama perjalanan kami tidak hanya menemukan tanjakan, namun juga banyak turunan. Peforma rem depan dan belakangnya bisa diandalkan dengan baik di medan ini. Tak lama, kami pun melipir ke pasir berbisik, dimana kali ini tantangannya berbeda. Kami harus membelah lautan pasir menuju gate Probolinggo untuk makan siang. Apakah kami bisa melewati lautan pasir ini? Tentunya.
Taklukan Pasir Berbisik Bromo
Namun, memang tidak mudah. Kami beberapa kali harus tersendat karena motor melewati pasir yang masih empuk dan belum padat. Disinilah skill harus diuji, dimana saat kami tersendat di pasir, maka bukaan gas harus diakali sehingga torsi 24 Nm yang dimiliki motor ini bisa membuat kami keluar dari jebakan pasir tersebut. Salah satu cara yang mudah adalah mematikan TCS dan mengendalikan motor sepenuhnya di tangan kita. Di sisi lain, TCS juga sangat berguna saat kami harus berjibaku dengan huja di hari kedua. Kala itu, hujan yang deras membawa banyak lumpur di jalanan, dan TCS beberapa kali mengintervensi saat jalanan licin sehingga kami tidak tergelincir.
Thanks to Technology. TCS dan ABS berguna sangat baik di perjalanan kali ini, dimana hujan mengguyus hampir 60% dari total perjalanan. Belum selesai sampai di sana, saat kami bergerak kembali ke kawasan Wonokitri, kami dihadapkan pada tanjakan yang sangat terjal. Dan disinilah mesin 1 silinder 250cc Yamaha X-MAX 250 unjuk gigi. Kami bisa melahap tanjakan ini dengan baik, walaupun kami harus berusaha untuk mendapatkan traksi dengan sedikit zig zag di jalanan. Sebenarnya, mematikan TCS jadi opsi yang menggiurkan, namun kondisi hujan menuntut kami tetap berkendara dengan aman dan menyalakan fitur TCS.
Maksimalkan Fitur Yamaha X-MAX
Tantangan belum selesai, dimana berikutnya kami dihadapkan pada kabut yang cukup tebal. Dan disinilah lampu LED baru Yamaha X-MAX 250 bisa bekerja maksimal. Penerangan yang diberikan mampu membantuk kami untuk awas pada jalanan di depan, termasuk memantau motor rombongan yang ada di depan kami. Dan terakhir, kami sangat dimanjakan dengan sejumlah fitur yang ditanamkan di motor ini. Mulai dari power outlet yang membuat baterai gadget kami selalu penuh. Lalu bagasi super besar yang bisa memuat tas dan jas hujan serta perlengkapan kamera kami. Serta konektivitas Y-Connect yang membuat kami bisa mendapatkan notifikasi saat ada panggilan masuk ke smartphone.
Jadi, kesimpulannya, Yamaha X-MAX 250 Connected diciptakan untuk kalian yang suka bereksplorasi, touring, hingga harus menempuh perjalanan yang jauh. Secara total, kami menempuh jarak lebih dari 150 km selama 2 hari, dan jujur kami tak terlalu merasakan rasa capek. Ini juga yang nampaknya menjadi alasan mengapa Yamaha X-MAX 250 sangat disukai oleh bapack-bapack pecinta Touring. Mesin mumpuni, fitur yang mendukung, bagas besar, dan ergonomi nyaman memang menggiurkan untuk kalian pada bolang. Jadi, bagaimana menurut kalian?
AutonetMagz.com – Setelah PT Yamaha Indonesia Motor Manufacturing (YIMM) menyambut 2023 dengan meluncurkan Yamaha Grand Filano Hybrid Connected, kini kami berkesempatan untuk mencoba skutik Classy dari Yamaha tersebut langsung di pulau Bali. Mengelilingi kawasan Nusa Dua, kami pun berkesempatan untuk mengeksplor kakak dari Yamaha Fazzio ini selama dua hari.
Yamaha Grand Filano Yang Bertabur Fitur Unggulan
Dengan tema kegiatan “Classy on Vacation”, acara yang berlangsung dari 23-24 Februari 2023 ini berfokus pada pengalaman riding berkelas menggunakan Yamaha Grand Filano. Bertema desain ala skutik Eropa, pilihan warna atraktif nan elegan, serta perlampuan full LED, tentu Grand Filano Hybrid Connected cocok untuk menambah kesan berkelas dalam tiap perjalanannya.
Bahas soal fiturnya, Grand Filano juga sudah dibekali digital speedometer dengan TFT sub-display, keyless switch, front refuel, dan tentunya konektivitas Y-Connect untuk riding log. Aktivitas berkendara selama dua hari juga turut didukung front pocket dan bagasi seluas 27 L dengan lampu penerangan LED yang dapat memuat helm half-face serta tas kecil yang bahkan masih menyisakan ruang yang lapang.
Rasa Berkendara Yang Nyaman Dan Berkelas
Kesan berkelas juga terasa pada saat berkendara bersama Grand Filano, seperti bantingan suspensi yang lebih empuk ketimbang Fazzio juga jok dual tone (tipe Lux) yang empuk turut menunjang kenyamanan berkendara Yamaha Grand Filano Hybrid Connected baik di jalanan aspal maupun berbatu. Mesin 125 cc Blue Core Hybrid dengan tenaga 8,3 PS di 6.500 rpm dan torsi 10,4 Nm di 5.000 rpm pun responsif, tidak terasa underpower.
Bahkan setelah kami mengetes Grand Filano sejauh 69,6 km melewati rute naik turun berbagai macam pantai di kawasan Nusa Dua, konsumsi bahan bakarnya mencatatkan angka 54,9 km/L dan paling borosnya 51,7 km/L. Itu artinya dengan kapasitas tangki bensin sebesar 4,4 L, Yamaha Grand Filano Hybrid Connected mampu menempuh jarak 227,5 – 241 km dalam sekali pengisian penuh.
Dengan banderol Rp 27 – 27,5 Juta OTR Jakarta, Yamaha Grand Filano Hybrid Connected memiliki dua varian yang terdiri dari Neo dan Lux. Untuk Neo tersedia warna Dull Blue, Red, Beige, dan Black sementara Lux tersedia warna White Pearl dan Matte Blue. Jadi dengan model, fitur, serta performa mesinnya, apakah Grand Filano Hybrid masuk ke dalam wishlist motor harian impianmu?
AutonetMagz.com – Kali ini, tim Autonetmagz mendapatkan kesempatan untuk mencoba KIA EV6 GT Line. Walaupun rutenya hanya muter-muter pelataran GBK, tapi setidaknya bisa-lah untuk memberikan sedikit gambaran mengenai bagaimana performa dari mobil ini. Banyaknya trek lurus yang ada di area GBK juga bisa dimanfaatkan untuk mengetes bagaimana akselerasi, torsi, serta seberapa halus regenerative braking-nya bekerja.
Akomodasi dan Visibilitas
Dimulai dari depan, posisi mengemudinya cukup ergonomis dengan lingkar setir yang tebal dan enak digenggam. Visibilitas belakangnya kurang, karena kaca belakang yang pendek, melandai, dan posisi dudukan jok belakang yang tinggi. Sayangnya lagi, belum ada fitur digital rear-mirror pada spion tengahya. Masih di sektor kemudi, mobil ini menerapkan format seperti mobil eropa, dimana tuas lampu sein di kiri dan wiper di kanan. Dua tombol mode (satu untuk audio dan satu lagi untuk driving mode) di kemudi juga bikin bingung bagi yang belum terbiasa.
Untuk jok belakangnya, legroom dan headroom-nya sangat lega. Dudukan pada jok belakang ini agak tinggi meskipun lantai bawahnya rata. Sehingga posisi kaki jadi agak terangkat saat duduk. Jok belakangnya juga bisa reclining untuk posisi duduk yang lebih rebah. Yang unik, ventilasi AC belakang ada di pilar B layaknya MPV (bukan dibelakang konsol tengah) dan usb-port charghing ada di bagian samping-belakang kursi depan.
Impresi Berkendara & Bantingan Suspensi
KIA EV6 berpenggerak All Wheel Drive yang mampu menyalurkan tenaga hingga 320 Hp dan torsi 605 Nm. Akselerasi 0 – 100 km/jam dapat ditempuh hanya dalam 5.2 detik menurut klaim pabrikan. Masukkan ke mode sport dan injaklah pedal gas dalam-dalam, maka mobil akan langsung melesat dengan tarikan awal khas mobil listrik. Setelah memasuki kecepatan diatas 40 km/jam, percepatan cenderung linear. Handling dan akurasi setirnya juga cukup baik membaca gerakan ban. Walaupun saat ditekuk-tekuk bila kita duduk di jok belakang badan kita agak sedikit goyang-goyang, untung ada hand grip.
Regenerative braking yang tersemat pada KIA EV6 juga cukup halus memberhentikan laju mobil. Tidak terlalu pakem, namun bisa untuk menghentikan mobil dari kecepatan tinggi dalam jarak yang pendek secara halus. Bagaimana dengan suspensinya? melintasi gundukan suspensi terasa agak kaku. Untungnya jok pada KIA EV6 cukup bisa meredam guncangan. Selain itu mobil ini juga sangat kedap suara, ketika digunakan bahkan suara bannya tidak terlalu terdengar.
Sayangnya kesempatan kita untuk mencoba KIA EV6 ini terlalu singkat. Intinya KIA EV6 cukup mampu memberikan sensasi khas sebuah mobil listrik dengan peforma tinggi. Tidak sabar untuk mencobanya di jarak yang lebih jauh dengan waktu yang lebih lama.
AutonetMagz.com – Akhirnya kami berkesempatan untuk mencoba all new Toyota Agya GR (Gazoo Racing) Sport 2023 di sekitaran kawasan Gelora Bung Karno, Senayan pada Kamis (16/03). Setelah resmi merilis harga pada gelaran GAIKINDO Jakarta Auto Week (GJAW) 2023, Agya GR Sport yang kini dibanderol mulai dari Rp 237,5 – 256 Juta ternyata memiliki rasa berkendara yang jauh lebih baik dibanding generasi terdahulunya.
Agya GR Sport, Lebih Dari Sekedar Nama
Tentu hal pertama yang kami rasakan adalah setirnya, Agya GR Sport kini memiliki respon setir yang terasa lebih sporti. Gir rack and pinion dengan jarak putaran kemudi yang lebih minim dibanding Toyota Agya 1.2 G CVT 2023, membuat Agya GR Sport CVT 2023 memiliki tingkat akurasi setir yang baik. Walaupun begitu, feedback setirnya persis sama dengan Toyota Veloz dan Toyota Raize yang tidak progresif saat memberatkan setir ketika kecepatan semakin tinggi sehingga cukup mengganggu.
Berbicara mengenai bantingan suspensi, Agya GR Sport memang memiliki settingan suspensi yang kaku namun hal tersebut membuatnya stabil baik di jalanan yang tidak rata maupun ketika berbelok patah 90 derajat pada kecepatan 50 km/h. Ini membuat rasa berkendaranya jadi lebih seru karena Toyota Agya GR Sport 2023 tidak memiliki suspensi yang terlalu mengayun sehingga kontrol mobil jadi lebih terarah.
Gendong Mesin WA-VE Dan Transmisi D-CVT
Menggunakan mesin WA-VE 1.200 cc 3-silinder, Agya GR Sport 2023 mengeluarkan tenaga sebesar 88 PS di 6.000 rpm dengan torsi 113 Nm di 4.500 rpm. Tenaga yang disalurkan lewat transmisi D-CVT yang memiliki split gear, membuat bukaan gas saat melakukan stop n go jadi lebih responsif dibanding CVT biasa. Namun ketika berada pada kecepatan rolling speed dan pedal gas langsung diinjak, efek delay khas transmisi CVT masih terasa.
Untuk pengeramannya sendiri, Agya GR Sport memang masih memiliki konfigurasi disc brake di bagian depan dan teromol di bagian belakang namun pedal rem masih bisa ditakar dengan baik. Artinya ketika Toyota Agya GR Sport 2023 melakukan pengereman, kita bisa menakar tingkat pengereman dengan mudah. Tidak serta merta hanya di-injak sedikit akan langsung mengerem dengan kuat yang tentunya akan berpengaruh pada faktor kenyamanan penumpang.
Secara garis besar, Toyota Agya GR Sport 2023 yang dibanderol Rp 237,5 Juta (GR-S M/T) dan Rp 253,5-256 Juta (GR-S CVT) cocok untukmu yang lebih mementingkan rasa berkendara yang sporti ketimbang mementingkan kenyamanan. Dengan pilihan 4 warna solid serta 2 warna dual-tone khas GR, apakah kalian tertarik untuk menjadikan all new Toyota Agya GR Sport 2023 sebagai kendaraan harianmu?
AutonetMagz.com – Sebagai bentuk kesiapan MG dalam ekosistem mobil listrik di Indonesia, MG memberikan kesempatan kepada rekan-rekan media untuk melakukan test drive dari Jakarta ke Bandung dengan menggunakan produk-produk MG, salah satunya MG 4 EV. Sebuah mobil electric yang diharapkan MG bisa menembus batas ekspektasi dari para pecinta otomotif melalui green technology khas MG yang diusungnya.
Impresi Berkendara Dengan MG 5 EV
Awalnya kami mengira hanya MG 4 EV saja yang diikut sertakan. Namun ternyata ada line up MG lain seperti MG 5 GT, HS, ZS, dan “bintang tamu” MG 5 EV Wagon yang sempat dipajang di GIIAS 2021. Sesi pertama dari Dealer MG Mampang ke rest area KM 57 menggunakan MG 5 EV. Kami cukup girang dengan kesempatan menjajal mobil yang tampaknya hanya satu se-Indoesia ini. Mobil ini cukup nyaman dengan suspensinya yang empuk dan tarikan yang responsif.
Sayangnya ada poin yang menurunkan ekspetasi kami. Seperti posisi duduk yang kurang ergonomis, dan pengaturan MID serta Head-unit yang agak laggy. Karena suspensinya yang empuk, ketika dibawa ke jalan tol layang MBZ, gejala limbung dan mental-mentul cukup terasa. Kami harap di versi facelift sudah ada banyak improvement terkait itu semua, karena yang kami bawa ini ternyata model pre-facelift. Kalau sudah dikut sertakan dalam media test drive begini apakah ada kemungkinan akan dijual? hanya MG yang tau.
Impresi dengan MG 4 EV
Dari rest area km 57, kami berganti mobil lagi ke MG ZS. Er…, entah mengapa mobil ini masih lebih nyaman dari MG 5 EV tadi. Plus handling-nya lebih oke, gejala body roll tidak terlalu terasa disini (mungkin karena pemakaian pelek dan ban yang lebih besar?). Suara ban dan anginnya juga lebih teredam dibanding MG 5 EV. Bertolak ke rest Area KM 72, kami harus berganti mobil lagi, dan barulah kami mendapat kesempatan untuk menjajal MG 4 EV ini sampai ke Hotel tempat kami menginap di Dago.
Dibandingkan dengan MG 5 EV, MG 4 EV bisa dibilang mobil yang “beda dunia”. Benar-benar sesuai dengan standar ev masa kini, tak heran kalau ia berhasil memenangkan predikat Car Of The Year di negara asal leluhurnya. Memiliki akurasi setir yang bagus dan bisa memberat seiring dengan naiknya kecepatan. Respon bukaan gasnya juga cukup halus, bisa diurut sehinga tidak bikin kaget karena tiba-tiba torsinya seperti keluar semua.
Soal bantingannya memang tidak seempuk MG 5 EV. Masih masuk kategori empuk, namun ketika diajak bermanuver akurasinya cukup baik dan stabil, tidak limbung. Sayangnya, visibilitas belakangnya agak terbatas saat bangku belakang terisi penuh dan belum dilengkapi dengan digital rear view mirror. Absennya sunroof (setidaknya untuk tipe tertinggi) juga agak mengurangi image dari mobil ini, mengingan produk MG yang berharga lebih murah sudah ada yang memiliki fitur tersebut.